Film Pengkhianatan G30S/PKI Hanya Sebatas Fiksi dan Semidokumenter, Benarkah?

Kawula Muda, menurut lo film Pengkhianatan G30S/PKI itu fiksi atau enggak, nih?

Film Pengkhianatan G30S/PKI. (Dok. TEMPO)
Thu, 30 Sep 2021

Kawula Muda, peristiwa Gerakan 30 September yang lebih dikenal dengan G30S/PKI hingga saat ini masih menjadi perbincangan hangat nan kontroversial.

Salah satu hal yang masih diperdebatkan adalah keberadaan film Pengkhianatan G30S/PKI. Film yang dirilis pada tahun 1984 itu sempat disebut sebagai film "wajib tonton", karena dipercaya memiliki sejarah yang orisinal.

Tentunya film ini menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan, hingga membuat seorang dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Suwandi Sumartias, akhirnya memberikan sudut pandang komunikasi politik pada tahun 2017 lalu.

Melansir PikiranRakyat, film Pengkhianatan G30S/PKI sendiri sebenarnya ramai ditonton hanya karena rasa penasaran masyarakat yang belum terjawab.

Film itu kerap disebut sebagai sarana para penguasa di zamannya untuk adu kepentingan. Padahal, film Pengkhianatan G30S/PKI sendiri hanyalah film semidokumenter dan fiksi. Pun film tersebut lebih cocok disebut karya seni.

Pun sejumlah tokoh lain juga keberatan dengan film Pengkhianatan G30S/PKI. Sebut saja mereka Saleh Basarah, Yunus Yosfiah, dan Juwono Sudarsono yang mengatakan bahwa film itu hanya mengulang-ngulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa 30 September 1965.

Film itu juga membuat Juwono resah dan meminta para ahli sejarah meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA.

Sementara itu, Yunus Yosfiah menyebut bahwa film-film pengultusan seperti Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar pun tidak sesuai dengan dinamika Reformasi.'

Pun Harold D Laswell dalam Propaganda Technique in the World War menjelaskan bahwa arti luas dari kata propaganda sebenarnya merupakan teknik memengaruhi tindakan manusia dengan cara memanipulasi atau melakukan representasi.

Representasi setiap masing-masing pribadi juga bisa berbeda, bergantung pada ujaran, tulisan, gambar, hingga bentuk-bentuk musikal.

Pada era digital ini, sejarah menjadi cerita abu-abu. Bagaimana sejarah itu dibuat dan siapa orang-orang di balik peristiwa itu pun dinilai lebih penting saat ini.

Berita Lainnya