Alasan Nama di Indonesia Diatur Ulang: Tidak Sesuai Norma dalam Negeri

Nama lo aman-aman aja kan, Kawula Muda?

Ilustrasi KTP (TIMES)
Wed, 25 May 2022

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) baru saja menerbitkan aturan terbaru terkait nama seseorang. 

Adapun aturan tersebut disusun dalam Permendagri Nomor 73 Tahun 2022 Tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan.

Ilustrasi nama (UNSPLASH/Jon Tyson)

 

“Sebelum membuat Permendagri ini, kami membuat kajian dari nama-nama di database,” tutur Dirjen Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh pada Selasa (24/05/2022) dikutip dari Kumparan. 

Adapun beberapa nama yang dianggap bermasalah adalah nama yang terlalu panjang. Misalnya Emeralda Insani Nuansa Singgasana Pelangi Jelita Dialiran Sungai Pasadena. 

Masalahnya, di beberapa dokumen kependudukan, terdapat maksimal jumlah huruf yang berbeda-beda. Karena itu, akan menjadi masalah apabila di tiap-tiap dokumen kependudukan tersebut tertulis nama yang berbeda pula. 

"Sebagai contoh panjang nama di KTP-el akan jatuh ke baris kedua dan terpotong jika lebih dari 30 karakter," tuturnya

Contoh permasalahan nama lainnya adalah nama yang terdiri dari satu huruf saja. Beberapa keluhan terkait hal tersebut juga muncul dari kantor imigrasi. Beberapa pengalaman yang mungkin cukup sering dirasakan oleh seseorang dengan nama satu kata adalah proses tanya jawab yang lama ketika akan masuk ke negara lain.

Selain itu, nama yang disingkat kini juga tidak diperbolehkan. Misalnya saja A, M. Panji dan A Hakam AS Arany. Hal itu memungkinkan adanya kebingungan terkait arti dari singkatan tersebut. 

Terkait kesopanan, ternyata beberapa nama di Indonesia memiliki makna yang negatif. Sebut saja Jelek, Orang Gila, Lonte, Ereksi Biantama, hingga Aji Setan. Bahkan, ada nama yang bertentangan dengan norma kesusilaan, misalnya Aurel Vagina hingga Penis Lambe. 

"Di masyarakat itu sudah ada standar umum hal-hal yang sesuai dengan kepantasan, kesusilaan, kesopanan. Bila petugas ada keraguan bisa konsultasi ke para ahli atau Dukcapil pusat," tambah Zudan. 

Kemudian, kini nama seseorang juga tidak boleh mewakili nama lembaga negara. Misalnya nama Mahkamah Agung, Bapak Presiden, hingga Bupati. 

Berita Lainnya