Buzzer Bermunculan di Tragedi Kanjuruhan, Gajinya Capai Rp 50 Juta?

Jadi misleading kalo banyak buzzernya, Kawula Muda :(

Ilustrasi media sosial (iSTOCK)
Tue, 04 Oct 2022


Pembicaraan mengenai Tragedi Kanjuruhan tak hanya ramai diberitakan. Akan tetapi, pembicaraan tersebut juga ramai dibahas di media sosial.

Banyak masyarakat yang berduka akibat melayangnya ratusan nyawa pada kerusuhan tersebut. Namun, di sela-sela ucapan duka, terdapat pula beberapa unggahan yang seolah menyalahkan para korban. 

Salah satu akun Twitter pun mengunggah rekaman suara berupa klarifikasi penjual warung di Stadion Kanjuruhan. Dalam pernyataannya, penjual seolah mengatakan bahwa para korban meninggal bukan akibat gas air mata dari polisi. 

Warganet lain pun menelusuri pemilik akun tersebut lewat Get Contact. Namun, identitas yang didapat adalah seorang tukang pijit. Padahal, akun tersebut telah mengatakan bahwa tidak pernah berprofesi sebagai tukang pijit. Tak butuh waktu lama, unggahan tersebut pun dipenuhi komentar ‘Buzzer’ dari warganet lainnya.



Di sisi lain, Ainun Najib merasakan kecurigaan akibat aksen di dalam voice note yang tidak seperti orang Malang. Hal itu pun ia unggah di media sosial. 

Lantas, siapa itu buzzer? Mengapa Buzzer seolah memiliki sentimen negatif di media sosial? Berikut penjelasan terkait Buzzer berdasarkan rangkuman Prambors!

Apa Itu Buzzer?

Kata ‘Buzzer’ sudah tidak asing bagi para pegiat media sosial. Buzzer pun dipahami sebagai pasukan siber. Selain itu, buzzer juga merupakan aktor partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara daring. Namun, buzzer rupanya bukan fenomena yang baru lahir baru-baru ini. 

Diterbitkan pada 2019 lalu, riset yang diterbitkan oleh University of Oxford mengulas beberapa hal tentang buzzer. Adapun penelitian tersebut berjudul “The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”. 

Terdapat berbagai kategorisasi kegiatan buzzer. Selain membuat disinformasi, terdapat pula buzzer yang bertugas melaporkan konten/akun secara massal, strategis berbasis data, gangguan kepada pihak lain, hingga memperkuat citra sebuah konten/media daring.

Dari berbagai kegiatan tersebut, penciptaan disinformasi merupakan hal yang paling banyak dilakukan buzzer. Dari 70 negara yang diteliti, 52 di antaranya secara aktif membuat konten disinformasi tersebut. 

Viralnya Buzzer di Indonesia

Ilustrasi media sosial (iSTOCK)

 

Praktik buzzer di Indonesia mulai mendapat popularitas pada 2019 lalu. Pada awalnya, dunia politik menjadi tempat lahirnya jasa ini. Buzzer kerap dibayar untuk menjatuhkan kredibilitas lawan dari partai politik lainnya. 

Mengutip laporan BBC, pengamat media sosial Ismail Fahmi menyatakan bahwa kedua pihak partai politik di pemilu 2019 sama-sama menggunakan buzzer. Baik Jokowi maupun Prabowo memiliki tujuan masing-masing terkait penggunaan buzzer tersebut. 

Prabowo disebut kerap mengerahkan para buzzer untuk menampilkan sosoknya yang ‘lembut dan humanis’. Di sisi lain, buzzer Jokowi kerap melakukan klarifikasi untuk menghalau tersebarnya disinformasi.

Kini, Buzzer pun menjadi salah satu hal yang paling diantisipasi oleh Pemilu 2024. Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan buzzer merupakan salah satu permasalahan demokrasi. 

Hal itu dikarenakan para buzzer merupakan pihak yang dibayar untuk menghancurkan atau membunuh karakter para lawan politik. 

Praktik Buzzer

Pada akun Twitter @txtdrberseragam, tersemat foto-foto pemesanan jasa buzzer bertepatan pada berita tragedi Kanjuruhan sedang jadi sorotan warganet. Pada salah satu foto tersebut, tertulis bahwa terdapat pesanan untuk mengunggah konten dengan hashtag #SigapMengayoni dan keyword Bakti Untuk Negeri. 

Pesan tersebut secara spesifik juga menulis jam tayang unggahan tersebut. “Waktu posting jam 19.45 - 19.47 WIB”. Bahkan, ada pula arahan untuk mengunggah foto sesuai dengan yang dikirimkan pada pesan tersebut. 

Adanya pesan tersebut pun mengukuhkan bahwa jasa buzzer memang dijajakan di grup-grup chat media sosial.

Tangkapan layar praktik Buzzer (Twitter/@txtdrberseragam)


Tangkapan layar buzzer di Twitter

 

Berapa Gaji Buzzer?

Ilustrasi media sosial (iSTOCK)

 

Riset yang dilakukan Universitas Oxford sebelumnya juga mencari tahu tentang pendapatan yang dilakukan buzzer Indonesia. Disebutkan, biaya jasa mereka dapat mencapai Rp 1 juta hingga Rp 50 juta untuk membuat viral suatu hal di media sosial. 

Di sisi lain, politikus Denny Indrayana, menyebut biaya sewa buzzer di Kalimantan Selatan dapat mencapai Rp 1 miliar! Ia juga menceritakan pengalamannya yang pernah ditawari buzzer pada Pilkada 2020 lalu. 

“Saya ditawari 1 miliar rupiah. Paling murah yang menawarkan saya Rp 600 juta hanya untuk buzzer dengan orang cuma 20,” katanya mengutip Tempo. 

Bedanya dengan KOL

Selain buzzer yang bertugas ‘memecah-belah publik’, ada pula buzzer yang bertugas menaikkan citra suatu akun. Walau memiliki tujuan yang sama, buzzer berbeda dengan Key Opinion Leader (KOL), Kawula Muda!

Hal tersebut terutama terkait popularitas pemilik akun. KOL merupakan seseorang yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Sementara itu, buzzer biasanya merupakan akun yang tidak dikenal luas oleh masyarakat. Bahkan, tak jarang identitasnya bersifat anonim. 

Berita Lainnya