Praktik Vagina dan Husband Stitch Bentuk Patriarki yang Masih Nyata Terjadi

Trigger warning! Harap membaca dengan bijak ya, Kawula Muda

Ilustrasi tubuh wanita adalah kemerdekaan sang pemilik tubuh (UNSPLASH/Timothy Meinberg)
Sat, 26 Feb 2022

Tubuh perempuan sejatinya adalah kemerdekaan sang perempuan itu sendiri. Namun, budaya patriarki yang telah berakar dan tumbuh selama berabad-abad merebut kemerdekaan tersebut. Terbukti dari maraknya praktik pengaturan kelamin perempuan sebagai ‘objek’ pemuas laki-laki semata.

Ilustrasi tubuh wanita (UNSPLASH/Alexander Krivitsky)

Belakangan ini, istilah Husband Stitch sempat trending di media sosial. Istilah tersebut merujuk pada ‘jahitan tambahan’ yang diterima oleh perempuan usai persalinan. Alasannya? Untuk kembali mengencangkan vagina perempuan untuk memastikan kepuasan suami saat berhubungan seksual. 

Padahal, perlu diketahui Husband Stitch bukanlah prosedur wajib dan resmi. Malah, prosedur tersebut lebih menyerempet ke definisi ‘malpraktek’. 

Bagaimana tidak? Sering kali sang pemilik tubuh tidak dimintai consent (dan bahkan tidak tahu sama sekali menerima ‘jahitan tambahan’) sebelum prosedur tersebut berlangsung. Sayangnya, dikutip dari Independent, praktik tersebut nyata dan terjadi di berbagai negara. 

Padahal, setiap tindakan medis tentu memiliki risiko sendiri. Dalam kasus Husband Stitch, risiko yang dapat dialami adalah perineum (otot, kulit, dan jaringan yang ada di antara kelamin dan anus) terpotong atau robek. Adapun tindakan tersebut belum memiliki penelitian yang memadai terkait hubungannya dengan kepuasan suami saat berhubungan seksual. Hal ini tentu sangat merugikan tubuh wanita. 

Belum selesai dengan perkara Husband’s Stitch, kini perkenalkan Vagina’s Stitches. Vagina’s Stitches dapat dipahami sebagai salah satu ‘hasil’ sunat perempuan (Female Genital Mutilation/FGM). 

Sunat perempuan adalah pemotongan sebagian ataupun seluruh alat kelamin anak perempuan. Korban biasanya berusia 5 hingga 12 tahun. Beberapa bagian yang dipotong dalam praktik tersebut adalah Labia Mayora, Labia Minora, hingga klitoris. 

Salah satu alasan utama praktik tersebut adalah untuk menghilangkan gairah seksual perempuan serta menyimpan keperawanan untuk suaminya kelak. Pada proses akhir FGM, kelamin perempuan akan dijahit dan menyisakan lubang kecil untuk saluran menstruasi dan urine. Kelak, sang suami-lah yang akan membuka jahitan segel atau Vagina’s Stitches tersebut. 

Dikutip dari Tirto, lebih dari 3 juga anak perempuan di seluruh dunia berisiko alami FGM dan Vagina’s Stitches setiap tahunnya. Beberapa kasus ditemui di negara-negara Afrika sub-Sahara, Arab, Amerika Latin, Australia, Asia Timur, Selandia Baru, hingga Eropa. 

Isu ini kembali diangkat oleh akun Instagram @clickkiyaka pekan lalu. Akun tersebut memberitakan beberapa cerita perempuan yang alami FGM ketika kecil. 

Asma adalah salah satu korban FGM dan patriarki dunia (INSTAGRAM/CLICKKIYAKYA)

 

Salah satunya datang dari Asma yang alami pemaksaan perobekan Vagina’s Stitches miliknya. Saat malam pertama usai menikah, sang suami ingin membuka jahitan tersebut agar dapat berhubungan intim dengannya. Asma yang takut mencoba untuk membujuk agar memotong jahitan tersebut di rumah sakit. 

“Ia (suami Asma) menjadi marah dan berkata ‘Saya menunggu hari ini selama bertahun-tahun dan saya tidak akan membiarkan dokter memotong jahitan vagina istri saya. Itu memalukan untuk keluarga saya',” tulis keterangan unggahan tersebut.

Adapun teriakan sakit Asma saat sang suami memaksa untuk memotong jahitan tersebut seolah mengundang ibu, ayah, dan kedua saudara laki-laki suaminya. Bukannya membantu, mereka malah memegangi Asma agar sang suami dapat melepas jahitan tersebut dan melakukan hubungan seksual dengan Asma. 

Selain Asma, masih banyak cerita pahit perempuan lain di seluruh dunia yang tidak memiliki kemerdekaan akan tubuh sendiri. Padahal, (sekali lagi) yang memegang kemerdekaan penuh tubuh perempuan adalah sang perempuan itu sendiri. Bukan (calon) suami perempuan tersebut. 

Berita Lainnya