MUI Awasi Transaksi Uang Digital, Memangnya Haram?

Simak penjelasannya di bawah ini yuk, Kawula Muda!

Ilustrasi uang digital (UNSPLASH)
Fri, 07 Oct 2022


Transaksi uang digital sudah marak digunakan masyarakat. Melalui kemudahannya, kita tidak perlu lagi membawa uang kertas ke mana-mana untuk membayar apapun.

Seiring perkembangan zaman yang membawa teknologi kian canggih, uang digital digandrungi oleh siapa saja. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan aturan terkait hal tersebut.

Dilansir dari Asumsi, Jumat (07/10/2022), Wakil Ketua MUI, KH Marsudi Syuhud mengatakan, transaksi uang digital perlu diawasi demi mencegah pelanggaran atau menyimpang dari hukum atau syariat Islam dalam ketentuan di dalam uang digital.

"Banyaknya kemudahan di era digital, seperti pembayaran (dengan) sekali klik, tetap harus kita awasi agar ketentuan di dalamnya tidak menyimpang dari hukum-hukum (Islam)," tutur Kiai Marsudi.

Ilustrasi uang digital (UNSPLASH)

Dia pun juga menyetujui adanya transaksi lewat digital ini tidak bisa lepas dari umat Islam di dunia. Namun, Kiai Marsudi khawatir bisa mengubah hukum yang ada di sana dalam bertransaksi.

"Hal tersebut karena ekonomi syariah berbasis pada hukum tsabat atau hukum yang bersifat tetap dari Tuhan yang perlu diintegrasikan dan disatukan dengan perkembangan zaman," katanya.

Kiai Marsudi melanjutkan, penerapan transaksi uang digital perlu dilakukan berdasarkan kisah Al-Jam'u baina ats-Tsabat wa At-Tathawwur.

Kaidah tersebut menjelaskan, umat Islam harus berupaya menyatukan hukum tetap dengan permasalahan yang terus berkembang dan berubah kapan saja.

Haramkan bitcoin dan ethereum

Ini bukan pertama kalinya MUI menyikapi transaksi digital. Sebelumnya, pada 2021, crytocurrency atau mata uang kripto resmi diharamkan oleh MUI sebagai mata uang.

Berdasarkan laman Kompas, fatwa haram dari MUI tersebut diharamkan hanya untuk penggunaan mata uang kripto sebagai alat transaksi jual beli, bukan pada jenis mata uangnya.

Menurut hasil musyawarah ulama, Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun, Niam Sholeh, penggunaan kripto sebagai mata uang hukumnya haram lantaran mengandung gharar (ketidakpastian dalam transaksi) dan dharar (yang bisa merugikan salah satu pihak), serta bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015.

Aturan tersebut tertulis, alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah uang rupiah, sehingga kripto bukanlah alat pembayaran.

7 hal yang harus dihindari dalam bertransaksi digital

Ilustrasi uang digital (METAVERSE POST)

Melansir dari laman MUI, Dewan Syariah Nasional (DSN), H Aminuddin Ya’kub menuturkan, transaksi dengan uang elektronik diperbolehkan dalam Islam asalkan terhindar dari 7 hal.

Tujuh hal yang dilarang tersebut adalah transaksi yang mengandung unsur ribawi, gharar, maysir, tadlis, risywah, dan israf, dan transaksi atas objek yang haram atau maksiat.

1. Riba, tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas pokok utang dengan imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak;

2. Gharar, ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas obyek akad maupun mengenai penyerahannya;

3. Maysir, setiap akad yang dilakukan dengan tujuan yang tidak jelas, dan perhitungan yang tidak cermat, spekulasi, atau untung-untungan;

4. Tadlis, tindakan menyembunyikan kecacatan obyek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah obyek akad tersebut tidak cacat;

5. Risywah, suatu pemberian yang bertujuan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, membenarkan yang batil dan menjadikan sesuatu yang batil sebagai sesuatu yang benar;

6. Israf, pengeluaran harta yang berlebihan;

7. Transaksi yang dilarang berkaitan dengan jenis.

Berita Lainnya