Apa yang Terjadi Jika Sepak Bola Dihentikan di Indonesia?

Turut berduka cita untuk seluruh korban Tragedi Kanjuruhan :(

Ilustrasi sepakbola (UNSPLASH/WESLEY TINGEY)
Mon, 03 Oct 2022


Sepak bola merupakan salah satu olahraga favorit di Indonesia. Para suporter terbiasa berbondong-bondong mendatangi stadion untuk menonton pertandingan klub sepakbola favoritnya.

Hal itu sebenarnya tidak mengherankan. Mengingat sepak bola sudah identik dengan kata ‘olahraga’. Pada saat sekolah dulu misalnya, sepakbola kerap menjadi salah satu olahraga yang pertama kali diperkenalkan kepada para siswa,

Kemudahan mencari bola sepak, gawang, hingga ketersediaan lapangan menjadi faktor pendukung tingginya minat dan popularitas olahraga ini. Namun, bagaimana jika tidak pernah ada olahraga bernama sepakbola di Indonesia? Berikut beberapa kemungkinannya! 

Tidak Ada Pendapatan dari Pajak Sepak Bola

Di mata dunia, sepak bola tidak hanya sekadar menjadi olahraga sederhana. Berkembang besar, sepak bola kini telah menjadi sebuah industri dengan nilai ekonomi yang menjanjikan. 

Setiap pihak, mulai dari panitia pelaksana, pemain, klub, dan sponsor akan mendapat keuntungan tertentu apabila memanfaatkan nilai ekonomis tersebut. Tak jarang, penonton juga dapat mendapat pundi-pundi uang secara ilegal dari judi apabila berhasil menebak klub mana yang menang dalam suatu laga.

Keuntungan tersebut pun tidak luput didapat oleh negara. Lewat pajak, negara juga memiliki hak untuk mengambil sepersekian persen keuntungan tersebut. 

Ada banyak cara bagi negara untuk mendapat keuntungan tersebut. Misalnya saja dengan menerima pajak penghasilan para pemain hingga pelatih. Sama halnya dengan klub-klub sepakbola yang harus membayar pajak kepada pemerintah. Hal itu pun telah dikukuhkan lewat Peraturan Menteri Keuangan. 

Tak hanya itu, apabila terdapat liga antar klub, pemerintah secara langsung juga dapat mengambil pajak lebih. Sebut saja dari penjualan tiket penonton yang dapat mencapai ratusan ribu suporter tersebut. 

Mengutip opini R Ganung Harnawa, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak, nilai pajak tersebut bernilai fantastis. Apalagi jika klub tersebut merupakan yang termasyhur di Indonesia hingga bermain di pentas Liga 1. 

Diperkirakan, klub Liga 1 telah memiliki omzet di atas Rp 4,8 miliar. Jika diambil 11 persen saja sesuai dengan nilai umum pajak Pertambahan Nilai (PPN), tentu nilai pajak dari sepakbola sangat bombastis. 

Rangking FIFA akan Turun

Ilustrasi pertandingan sepakbola penuh suporter (UNSPLASH/VALENTIN B.KREMER)

 

Semenjak ditangguhkan oleh pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae Yong, grafik performa Timnas Indonesia naik. Dari rangking ke-173 (Mei 2021) hingga 155 (Agustus 2022). Tim merah putih telah memanjat 21 posisi dalam ranking sepakbola dunia.

Indonesia memang telah memasuki babak baru dalam dunia sepakbola. Berkat latihan yang sistematis dan semakin intensif, Indonesia kini berlaga dengan penuh strategis. Hal itu pun terbukti dari berbagai pertandingan sebelumnya di FIFA Matchday. Timnas Indonesia sukses mengalahkan Curacao selama dua kali. 

Selain menjadi kebanggaan tersendiri bagi para anggota Timnas Indonesia, kemenangan tersebut juga seolah meninggikan derajat Indonesia di mata dunia. Jika sepak bola ditiadakan di Indonesia, ranking ini pun bisa saja kembali turun drastis.

Batal jadi Tuan Rumah Pertandingan Sepak Bola Internasional

Ilsutrasi sepakbola (UNSPLASH/ABIGAIL KEENAN)

  

Federation Internationale de Football Association (FIFA) merupakan organisasi internasional yang menjadi induk seluruh sepakbola di dunia. Juga bersikap sebagai pengawas, FIFA memiliki hak untuk memberikan sanksi kepada negara dengan sistem sepakbola yang tidak memadai.

Pada 30 Mei 2015, FIFA pernah menjatuhkan sanksi kepada Indonesia. Hal itu dikarenakan pemerintah Indonesia melakukan intervensi kepada laga. Hal itu pun dinilai sebagai pelanggaran atas Pasal 13 dan 17 dari Statuta FIFA.

Kini, Indonesia kembali terancam sanksi tersebut. Hal itu terkait dengan Tragedi Kanjuruhan usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya. Tragedi tersebut sampai saat ini melaporkan sebanyak 129 korban jiwa dengan sebagian besar korban berusia belasan hingga dua puluh-an tahun serta balita. 

Pada wawancara dengan Guardian, seorang penonton menceritakan pengalaman mengerikan yang diingatnya tersebut. “Suara tembakan terdengar begitu memekakkan telinga. Ketika saya pertama kali melihat massa dan kekacauan di sekitar saya, saya berpikir bahwa hidup saya akan berakhir malam ini, bahwa saya pasti akan mati di sini.”

Rasa perih semakin dirasakan akibat gas air mata yang ditembakkan oleh polisi. Padahal, sudah jelas tertera di Regulasi FIFA, Bab III pasal 19, penggunaan senjata api dan gas pengendali di stadion dilarang.

Karena itu, ada ketakutan yang dirasakan seluruh elemen sepakbola Indonesia terkait sanksi FIFA kali ini. Apabila benar-benar dikukuhkan, sanksi FIFA kali ini dapat berimbas pada dibekukannya liga Indonesia selama 8 tahun. 

Selain itu, Indonesia juga dipastikan batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 yang akan digelar pada 20 Mei hingga 11 Juli 2023. Indonesia juga terancam tidak dapat mengikuti Piala Asia serta Piala Dunia U-20 pada 2023 mendatang. Padahal, Indonesia telah lolos ke Piala Asia 2023 tersebut. 

Sektor Pariwisata Ikut 'Mati'

Setelah pandemi mulai bisa terkendali dalam kurung waktu kurang lebih dua tahun ini, sektor pariwisata kembali untuk bangkit. Begitu pula dengan pertandingan sepak bola yang turun membangkitkan sektor pariwisata Indonesia. 

Pertandingan akbar Piala Dunia U-20 yang rencananya akan dilaksanakan di Indonesia tentu akan menarik perhatian bukan hanya dari warga lokal namun juga pelancong internasional. 

Kekayaan alam, budaya, dan kuliner Indonesia juga bisa dimanfaatkan untuk menarik para pengunjung yang datang untuk membela negara mereka masing-masing di Piala Dunia U-20 nanti. 

Jika Indonesia diberi sanksi meniadakan pertandingan sepak bola dan batal jadi tuan rumah Piala Dunia U-20, tentu pariwisata Indonesia juga akan terkena dampaknya. 

Padahal, sudah banyak infrastruktur yang dibangun demi menyukseskan pagelaran akbar tersebut, loh, Kawula Muda.

Tidak Ada Anarkisme Suporter

Ilustrasi pertandingan sepakbola penuh suporter (UNSPLASH/MARIO KLASSEN)

 

Kejadian Kanjuruhan pada 1 Oktober lalu, mencetak sejarah kelam di dunia sepak bola. Ini merupakan tragedi paling mematikan nomor 2 dalam sejarah sepak bola dunia. 

Sepanjang sejarah, sebenarnya, telah terdapat berbagai pertandingan yang memakan nyawa manusia. Pada 1964 lalu misalnya. Di Lima, Peru, juga ada kejadian serupa yang menewaskan 354 suporter.

Saat itu, para suporter tidak menerima keputusan wasit yang dianggap lebih condong ke Argentina. Fans Timnas Peru yang tidak terima turun ke lapangan dan saling memukul satu sama lain. 

Namun, hal tersebut kembali terjadi pada era modern ini. Tak terima dengan kekalahan Arema, para suporter turun ke lapangan dan melakukan aksi anarkis. Terdapat sebuah video viral di media sosial yang menunjukkan para suporter mencoba menggulingkan mobil polisi. 

Sebaliknya, polisi pun sama. Alih-alih mencoba menghentikan kerusuhan tersebut secara damai, polisi juga anarkis. Hal itu terbukti dari banyaknya pemberitaan tentang polisi yang juga turut memukuli para suporter dan menembakkan gas air mata ke tribune. Hal tersebut bahkan disorot berbagai media internasional, sebut saya Guardian hingga The New York Times. 

Kawula Muda, perlu diingat bahwa tidak ada pertandingan sepak bola yang sebanding dengan nyawa manusia. 

Berita Lainnya