IDI Sebut Terapi Ganja Medis Bisa jadi Pilihan namun Bukan yang Terbaik

Tapi tetap dapat menjadi pilihan, Kawula Muda!

Tanaman ganja. (FREEPIK)
Fri, 01 Jul 2022


Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, mengatakan bahwa terapi ganja bukanlah opsi yang terbaik.

“Jadi sebetulnya sudah ada obat untuk masing-masing penyakit, seperti epilepsi dan lainnya itu. Namun, ganja medis bisa menjadi pilihan, tapi bukan yang terbaik," kata Zubairi mengutip Kompas pada Rabu (29/06/2022).

Tanaman ganja. (FREEPIK)

 

Penggunaan ganja untuk terapi medis memang kembali menjadi pembicaraan baru-baru ini. Pasalnya, Thailand baru saja melakukan pelegalan penggunaan ganja untuk pengobatan. 

Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) juga baru saja mengeluarkan izin penggunaan ganja untuk medis. Secara spesifik, penggunaan ganja tersebut diizinkan untuk pasien epilepsi dengan kejang. 

Namun, Zubairi mengatakan bahwa kasus tersebut jarang terjadi. Selain itu, sebenarnya sudah ada obat dan prosedur penanganan tersendiri untuk pasien epilepsi. 

Sebagai informasi, ganja medis yang paling terkenal adalah delta-9-tetrahydrocannabinol (THC). Namun, jika menilik kondisi lain, penggunaan ganja medis THC juga disebut memiliki banyak efek samping. 

Efek samping pun semakin banyak dilaporkan ketika pasien menggunakan produk THC Delta. Diketahui, produk delta terkait dengan bahan kimia. Laporan mengenai dampak buruk produk tersebut pun cukup banyak diterima. 

Beberapa efek samping penggunaan ganja medis tersebut adalah peningkatan denyut jantung, pusing, interaksi negatif kepada beberapa obat tertentu, potensi kecanduan, halusinasi, hingga peningkatan risiko jantung dan stroke. 

Berita Lainnya