Kenapa Korban KDRT Sulit untuk Lepas dari Jerat Pasangannya? Ternyata Ada Studi Ilmiahnya

Hai Kawula Muda, kekerasan dalam bentuk apapun enggak bisa ditolerir, setuju dong?

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (UNSPLASH)
Sat, 15 Oct 2022

Berita pencabutan laporan yang dilakukan Lesti Kejora terhadap sang suami, Rizky Billar, atas laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Tidak sedikit dari warga masyarakat, terutama kaum hawa yang menyayangkan keputusan yang diambil oleh sang biduan dangdut tersebut.

Bahkan Komnas Perempuan menilai, perdamaian antara Rizky Billar dan Lesti Kejora justru merugikan korban. Mereka menilai, dalam kasus KDRT ada kecenderungan bentuk kekerasan justru kian memburuk usai hubungan membaik (damai).

"Terkait ajakan 'damai' dari RB, kami mengingatkan bahwa dalam KDRT terjadi siklus kekerasan yaitu adanya fase ketegangan, kekerasan, minta maaf, hubungan kembali membaik yang intensitasnya semakin cepat dan bentuk kekerasannya dapat memburuk," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.

Ia juga menambahkan, penyelesaian secara damai dapat saja tidak menguntungkan korban (akan terulang kekerasan, dipersalahkan, dan diungkit-ungkit). Itu akan menimbulkan impunitas (pembebasan) kepada pelaku dan membakukan budaya bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan kejahatan

Ilustrasi KDRT (iStock)

 

Siklus berulang 

Tetapi, tindakan yang dilakukan oleh Lesti Kejora dengan memaafkan dan berdamai dengan pelaku kekerasan ternyata kerap terjadi pada korban KDRT.

Menurut psikolog Lenore E. Walker, seorang penemu teori sosial siklus kekerasan menjelaskan, KDRT adalah sebuah pola yang bisa ditebak.

Menurutnya, kasus kekerasan terjadi mengikuti sebuah siklus yang berulang. Diawali dengan masalah yang sebetulnya umum terjadi pada rumah tangga seperti masalah finansial atau pertengkaran anak.

Pada tahap awal ini, korban akan mengalah atau menuruti keinginan pasangannya dengan harapan dapat memperbaiki keadaan.

Ketika upaya ini gagal, timbullah kekerasan yang merupakan tahap kedua dari siklus KDRT. Dalam tahap ini pelaku akan menyiksa atau menindas korban sebagai hukuman atau pelampiasan emosi.

Sayangnya, korban akan beranggapan bahwa ia memang pantas mendapat ganjaran ini karena gagal menyelesaikan masalah.

Setelah itu masuk ke tahap ketiga di mana setelah melakukan tindak kekerasan dan merasa puas, pelaku merasa bersalah dan minta maaf pada korban.

Banyak cara yang dilakukan pelaku dalam meminta maaf. Mulai dari memberikan hadiah, merayu dengan kata-kata manis, hingga berjanji tak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Tahap berikutnya yaitu tahap ketenangan yang merupakan tahap keempat. Pada tahap ini korban dan pelaku akan menjalani keseharian layaknya pasangan pada umumnya.

Bahkan mereka bisa terlihat romantis di depan umum, namun suatu saat bila timbul masalah sekecil apapun, pasangan ini akan masuk lagi ke tahap pertama.

Ilustrasi korban KDRT. (FREEPIK)

  

Bisa berakhir pembunuhan

Siklus seperti ini akan berputar tanpa henti dan satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan memisahkan si korban dari pelaku sehingga siklusnya terputus.

Sayangnya, semakin sering siklus berulang, semakin sulit korban untuk melepaskan diri dari jeratan pelaku.

Bahkan sebuah penelitian dari National Institute of Justice Amerika Serikat mengatakan kalau waktu paling berbahaya dalam kekerasan dalam rumah tangga adalah saat korban akan pergi meninggalkan pelaku.

Data menunjukkan, beberapa kasus kekerasan yang berakhir menjadi pembunuhan terjadi saat pelaku mendapat ancaman berpisah dari korban.

Mengerikan kan Kawula Muda? Jadi, sebelum sampai pada hubungan yang toxic, sebaiknya periksa dulu deh dengan baik siapa pasangan kamu dan bersikaplah berani bila mengalami kekerasan.

Say No untuk apapun bentuk kekerasan!

Berita Lainnya