Studi: Polusi Udara Berdampak pada Kesehatan Mental Remaja

Masa iya?

Ilustrasi seorang anak yang mengalami depresi (ISTOCK)
Mon, 21 Aug 2023

Diperkirakan sebanyak 280 juta orang di seluruh dunia saat ini tengah mengalami kondisi kesehatan mental. Hal itu berhubungan dengan sebuah penelitian yang menunjukkan adanya paparan polusi udara dapat menyebabkan beberapa kerusakan paling awal dan paling lama pada kesehatan mental.

Dilansir dari beberapa studi yang dirilis oleh IQAir, memaparkan bagaimana polusi udara dapat mempengaruhi kesehatan mental. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa paparan polusi udara dapat dikaitkan dengan adanya peningkatan risiko gangguan mental seperti depresi dan skizofrenia, dengan kerusakan yang sudah tersimulasi sejak anak-anak.

World Health Organization (WHO) sudah memperkirakan lebih dari 90 persen anak-anak di seluruh dunia sudah menghirup udara yang tercemar pada tingkat yang dianggap mampu merusak kesehatan dan perkembangan anak.

Hal tersebut dikarenakan otak dan perilaku anak-anak masih dalam perkembangan hingga di usia remaja akhir sampai dewasa awal. 

Terutama dalam PM2.5 (Polusi materi partikular yang berukuran 2,5 mikrometer per meter kubik (μg/m3) atau kurang) yang memberikan dampak besar pada perkembangan mental dan emosional sehingga berdampak juga kepada hasil kognitif dan perilaku seseorang yang terpapar polusi udara.

Polusi Udara Jakarta (INSTAGRAM/pakindro)

 

Terdapat sebuah studi Environmental Health Perspectives tahun 2019 yang mempelajari paparan jangka pendek terhadap PM2.5 pada lebih dari 6.800 anak berusia hingga 18 tahun. 

Para responden dikirim ke sebuah unit gawat darurat di Pusat Medis Rumah Sakit Anak Cincinnati, Ohio terkait gejala-gejala yang dianggap sebagai keadaan darurat kejiwaan seperti pikiran atau perilaku bunuh diri dan gangguan penyesuaian diri (stres, kesedihan, dan kecemasan dari trauma).

Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa adanya peningkatan kecil dalam jangka pendek pada polusi PM2.5 sebesar 10 mikrogram per meter kubik dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan pada jumlah anak yang dibawa ke rumah sakit akibat gejala kejiwaan yang parah.

Dilansir dari Tirto, terdapat penelitian polusi udara yang berdampak terhadap mental anak-anak dan remaja yang terbukti dan diterbitkan dalam British Journal of Psychiatry.

Penelitian yang dipimpin oleh Profesor Kamaldeep Bhui di Departemen Psikiatri, Universitas  Oxford itu, para peneliti dalam program BioAirNet menganalisis studi kasus yang mengamati efek polusi udara dalam dan luar ruangan sepanjang perjalanan hidup, mulai dari kehamilan dan kelahiran sampai remaja dan dewasa.

Ditemukan adanya bukti bahwa polusi udara mampu menyebabkan depresi, kecemasan, psikosis hingga gangguan neurokognitif (kondisi yang sering menyebabkan gangguan fungsi mental) seperti demensia.

Selain itu, terdapat indikasi pada anak-anak dan remaja yang mungkin terpapar polusi udara pada tahap kritis dalam perkembangan mentalnya. Mereka mampu berisiko terkena dampak paling parah dan masalah kesehatan mental yang signifikan di masa mendatang.

Faktor risiko kesehatan mental lainnya juga termasuk pada perumahan yang buruk, kepadatan penduduk, kemiskinan, kurangnya ruang hijau bahkan rentan sosial dan psikologi individu, seperti kurangnya akses ke dukungan, penjaga, atau ruang aman.

Bhui dalam jurnal mengatakan, “Tinjauan kami menunjukkan bahwa ada bukti hubungan antara kualitas udara yang buruk dan kesehatan mental yang buruk, serta hubungan dengan gangguan mental tertentu.”

Ilustrasi seseorang yang sedang mengalami depresi (UNSPLASH/FERNANDO CFERDO)

 

Kasus tersebut pun juga di benarkan oleh Jasra Putra selaku Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa anak-anak memang memiliki kondisi yang rentan terpapar penyakit akibat polusi udara baik secara kesehatan fisik maupun mental.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta pada periode Januari hingga Juni 2023, terdapat 638.291 Kasus ISPA dengan rincian; Januari (102.609 Kasus), Februari (104.638 kasus), Maret (119.734 kasus), April (109.705 kasus), Mei (99.130 kasus), dan Juni (102.475 kasus).

“Jadi anak enggak kuat merespons kondisi cuaca dan iklim seperti orang dewasa. Saat sakit karena polusi udara, psikisnya terganggu. Dia punya keterbatasan dan ini butuh bantuan kita untuk memastikan peroleh hak udara yang sehat dan tumbuh kembang anak,” ungkap Jasra.

Terkait kondisi tersebut, KPAI pun meminta kepada pemerintah agar dapat memberikan akses kesehatan kepada anak yang terpapar polutan dan segera menangani kualitas udara yang buruk.

Selain itu, Jasra meminta kepada seluruh pihak sekolah agar mengimbau kepada para siswa dan siswinya untuk menggunakan masker ke sekolah. Selain itu siswa/siswi diharapkan mampu terbuka dengan berkomunikasi terkait masalah mental mereka akibat polusi udara.

“Biarkan mereka menceritakan kondisi mereka. Itu bisa menangani permasalahan mental. Pendapatan anak-anak kita, partisipasi bisa didengar dan dilaksanakan,” ucap Jasra.

Jasra juga mengusulkan supaya anak-anak dapat bersekolah dengan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau hybrid sampai dapat dinyatakan udara sehat kembali sesuai standar yang ditentukan.

“Selanjutnya butuh dukungan keluarga, orang tua yang rawat dan bisa jelaskan kondisi kesehatan mereka,” tutup Jasra.

Berita Lainnya